TIGA hari sebelum hari yang paling penting dalam hidupnya
terjadi, Gita mengajak mantan kekasihnya, Muhar, untuk bertemu.
“Malam ini kamu bisa ke rumahku?” sebuah pesan singkat
dikirimkannya kepada Muhar.
“Bisa saja sih, tapi agak malam. Ada apa?” balas mantan
kekasihnya.
“Aku mau pamitan.”
“Mau ke mana?”
“Nanti saja kujelaskan kalau kamu sudah datang.”
Dulunya, Gita dan Muhar adalah sepasang kekasih yang sempat
membuat teman-teman mereka di sekolah merasa sirik melihat kemesraan yang
selalu mereka tunjukan. Waktu itu kelas dua SMA. Muhar menyatakan cintanya
kepada Gita di depan kelas di saat pelajaran di kelas itu baru saja akan
dimulai setelah selesai jam istirahat. Bermodalkan bunga—hiasan—plastik yang
ada di atas meja guru, Gita menerima cinta Muhar. Seketika seisi kelas menjadi
ramai, murid-murid yang lain ikut bersuka cita layaknya suporter kesebelasan
sepakbola yang sumringah melihat tim kesayangannya mencetal gol.
Kenangan demi kenangan yang terlintas di benak Gita malam itu
mampu memanggil air matanya untuk keluar dari persembunyian. Kesedihannya itu sampai-sampai membuat udara malam di kota Hujan yang cukup
dingin kalah telak bila dibandingkan dengan dinginnya perasaan
yang sedang ia rasakan.
***
Matanya masih terpaku pada sepucuk surat undangan
yang bertulisan namanya. Surat itu untuk Muhar. Sudah sejak lama ia ingin
memberitahukan kabar—yang sebetulnya—gembira itu kepada mantan kekasihnya, tapi
baru sekaranglah ia merasa siap. Tiga malam sebelum hari yang paling penting dalam
hidupnya.
“Aku di dekat rumahmu.”
Sebuah pesan singkat yang baru saja ia baca itu sangat mengejutkannya.
Pesan itu bukan dari Muhar, melainkan dari Romi; calon suami yang dipilihkan
orang tuanya untuknya. Dengan bergegas ia pun merapikan dirinya, bersama dengan itu ia
pun tak lupa untuk merapikan kenangan-kenangan masa lalunya bersama Muhar.
“Iya, sebentar...” ia berjalan menuju pintu depan untuk
menyambut seseorang yang tidak sama sekali ia harapkan kedatangannya malam itu.
Sambil pelan-pelan membuka pintu ia berdoa dalam hatinya, semoga Muhar datang
agak lebih malam. Dan doa di dalam hatinya pun ditanggapi oleh Romi dengan
sebuah ciuman yang mendarat di keningnya.
Bagi sepasang kekasih yang ingin menikah, sebenarnya tidak
diperbolehkan untuk bertemu beberapa hari sebelum hari pernikahannya. Entah karena
apa, tapi banyak yang mempercayainya sebagai perbuatan yang tidak boleh
dilakukan. Hal itu membuat Gita sedikit kebingungan. “Kenapa datang?” tanyanya
sembari mengusap-usap kening yang sedikit basah setelah dicium.
“Aku hanya ingin memastikan kalau calon istriku masih cantik.”
“Kalau ternyata sudah tidak?”
“Aku kecewa,” jawab Romi dengan begitu enteng.
“Suatu saat pun aku akan kehilangan kecantikanku.”
“Setidaknya bukan sekarang.”
“Terserahlah.” Dengan nada bicara seadanya, ia menutup
percakapan yang baginya sangat membosankan.
Banyak hal sebenarnya yang Romi bicaran malam itu dengannya dan juga dengan orang tuanya. Dari
perihal susunan acara, dekorasi panggung, hiburan, sampai hal-hal yang tidak terlalu penting
seperti pemilihan pernak-pernik aksesoris yang akan diberikan kepada tamu
undangan. Tapi malam itu, pikiran Gita sedang tidak di situ. Ia memikirkan hal lain. Ia memikirkan Muhar. Beberapa bertanyaan pun seketika muncul di kepalanya. Bagaimana kalau mantan kekasihnya itu tiba-tiba datang? Bagaimana kalau
Romi sampai melihat Muhar?
Kemudian dengan cepat ia mengetik pesan singkat untuk mantan
kekasihnya.
“Di rumah sedang ramai. Nanti kita bertemu di depan komplek
saja. Kabari aku kalau kamu sudah di sana.”
“Baiklah. Aku baru mau berangkat.” Balasan dari Muhar
sedikit membuatnya tenang.
Kembali lagi ia harus meladeni obrolan bersama calon suami
pilihan orang tuanya itu. Ingin sekali rasanya ia menolak perjodohan ini, tapi rasanya
sudah terlambat. Semuanya sudah terlanjur dipersiapkan. Di hatinya, Muhar masih
lah memiliki ruang yang sangat luas. Rasa sayangnya kepada Muhar masih lah sama seperti saat
mereka berpacaran. Atau mungkin kali ini perasaan itu telah jauh lebih besar dari sebelumnya. Bersama
Muhar, ia selalu merasa bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih tenang. Baginya,
Muhar itu kekasih idaman. Hanya saja menurut orang tuanya, Muhar bukanlah
menantu yang ideal.
Harusnya kedua orang tuanya tidak menyalahkan Muhar kalau
nyatanya saat ini Muhar belum memiliki kesuksesan seperti Romi. Dan Harusnya
kedua orang tuanya tidak menyalahkan Muhar kalau nyatanya Muhar tidak selalu
bisa menyenangkan hati mereka dengan materi. Usia Muhar masihlah terlalu dini
untuk dibandingkan dengan Romi yang sudah matang. Tapi kadang orang tua memiliki
pandangan yang lain tentang apa yang baik dan tidak untuk anaknya. Meskipun kadang,
apa yang menurut mereka baik, belum tentu menjadi pilihan yang terbaik.
***
Muhar telah sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Ia mengetahuinya
dari pesan masuk yang baru saja ia baca. Kemudian ia pun pergi ke sana, untuk
menemuinya dan, meninggalkan calon suaminya—yang sedang asik berbicara dengan
orang tuanya; untuk sementara.
Di perjalanan yang hanya berjarak tiga blok dari rumahnya, ia terus
saja mengulang-ulang kalimat yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Ia tidak
ingin menyakiti perasaan lelaki yang sedang menunggunya. Maka dari itu, sebisa
mungkin ia tidak boleh salah dalam menyampaikan kalimat yang sudah ia susun
rapi dan ia persiapkan sejak jauh-jauh hari.
Di tempat itu ia melihat Muhar yang sedang duduk di atas
motor. Entah motor siapa, ia tidak tahu. Sepengetahuannya, Muhar tidak atau belum
memiliki motor. Tapi ia tidak peduli. Ia terus berjalan mendekati Muhar.
“Hei...” sapa Muhar kepadanya sambil tersenyum.
Ia pun tersenyum membalas senyumannya. Tercium aroma parfum dari tubuh Muhar. Ia sangat mengenali aroma itu, aroma kesukaannya. Dulu, ia
selalu senang menciumi aroma itu ketika sedang memeluk tubuh Muhar. Tapi kini, aroma
itu membuatnnya sedikit sedih. Karena dengan terciumnya lagi aroma itu, ia jadi
sadar, bahwa nanti ia pasti akan sangat merindukannya.
“Jadi, kamu mau pergi ke mana?” tanya Muhar kepadanya.
“Aku akan pergi ke tempat yang mungkin tidak akan bisa kamu
kunjungi lagi.” jawabnya pelan.
“Ke luar negeri?”
“Bukan.”
“Kalau memang benar kamu akan pergi ke luar negeri. Aku akan
menabung dari sekarang untuk sesekali berkunjung.”
“Bukan. Bukan ke luar negeri.”
“Ke mana pun kamu pergi. Aku akan selalu berusaha untuk
mengunjungimu. Atau kalaupun tidak bisa, aku akan selalu menunggumu. Karena apa
kamu tahu? Karena aku mencintaimu.”
“Tidak boleh. Kamu tidak boleh mencintaiku lagi. Aku akan
pergi dan, kamu harus melupakanku.”
“Pergi ke mana?”
“Ke pelaminan. Bersama seorang lelaki pilihan orang tuaku.” sambil
menangis, ia memeluk tubuh mantan kekasihnya yang masih begitu ia cintai.
Muhar diam, tak bicara sedikit pun. Angin malam terasa lebih
dingin dari sejak ia datang. Matanya berkaca-kaca. Seolah-olah ada yang memaksa
air di matanya untuk keluar, tapi ia menahannya.
“Kamu harus janji buat lupain aku. Ini semua demi
kebahagiaanmu.” Katanya, yang masih memeluk tubuh Muhar.
“Apa kamu juga bahagia?”
“Asal orang tuaku bahagia, aku pasti bahagia,” jawabnya.
“Kalau begitu, sampaikan pesanku pada orang tuamu.”
“Apa?”
“Aku baru saja diterima jadi pegawai negeri. Beberapa tahun lagi aku
berencana untuk melamarmu dengan bermodalkan rumah sendiri. Tapi sepertinya
rencanaku harus kutunda lebih lama lagi.”
“Kenapa?”
“Karena kamu sudah menikah dengan yang lain. Dan aku tidak
yakin akan bisa mendapatkan penggantimu dalam beberapa tahun ini.”
Gita tak sanggup lagi untuk berkata-kata dan, ia pun tak
sanggup untuk menatap wajah mantan kekasihnya. Ia masih memeluknya,
menyandarkan kepalanya di dada Muhar. Ia merasakan detak jantung mantan kekasihnya yang berdegub cukup kencang; memecahkan keheningan. Tak lama dari itu, ia merasakan ada air yang menetesi kepalanya. Ia tahu, itu air mata Muhar. Tapi ia tak sanggup melihatnya dan,
ia pun rasanya takkan sanggup untuk melepaskan pelukannya.
Hari itu menjadi hari yang takkan bisa ia lupakan selamanya. Hari terakhir kali ia bertemu dengan Muhar. Tiga hari sebelum hari
yang paling penting dalam hidupnya.