Chrome Pointer

Jumat, 12 September 2014

Posted by Unknown | File under :
TIGA hari sebelum hari yang paling penting dalam hidupnya terjadi, Gita mengajak mantan kekasihnya, Muhar, untuk bertemu.

“Malam ini kamu bisa ke rumahku?” sebuah pesan singkat dikirimkannya kepada Muhar.
“Bisa saja sih, tapi agak malam. Ada apa?” balas mantan kekasihnya.
“Aku mau pamitan.”
“Mau ke mana?”
“Nanti saja kujelaskan kalau kamu sudah datang.”

Dulunya, Gita dan Muhar adalah sepasang kekasih yang sempat membuat teman-teman mereka di sekolah merasa sirik melihat kemesraan yang selalu mereka tunjukan. Waktu itu kelas dua SMA. Muhar menyatakan cintanya kepada Gita di depan kelas di saat pelajaran di kelas itu baru saja akan dimulai setelah selesai jam istirahat. Bermodalkan bunga—hiasan—plastik yang ada di atas meja guru, Gita menerima cinta Muhar. Seketika seisi kelas menjadi ramai, murid-murid yang lain ikut bersuka cita layaknya suporter kesebelasan sepakbola yang sumringah melihat tim kesayangannya mencetal gol.

Kenangan demi kenangan yang terlintas di benak Gita malam itu mampu memanggil air matanya untuk keluar dari persembunyian. Kesedihannya itu sampai-sampai membuat udara malam di kota Hujan yang cukup dingin kalah telak bila dibandingkan dengan dinginnya perasaan yang sedang ia rasakan.

***

Matanya masih terpaku pada sepucuk surat undangan yang bertulisan namanya. Surat itu untuk Muhar. Sudah sejak lama ia ingin memberitahukan kabar—yang sebetulnya—gembira itu kepada mantan kekasihnya, tapi baru sekaranglah ia merasa siap. Tiga malam sebelum hari yang paling penting dalam hidupnya.

“Aku di dekat rumahmu.”

Sebuah pesan singkat yang baru saja ia baca itu sangat mengejutkannya. Pesan itu bukan dari Muhar, melainkan dari Romi; calon suami yang dipilihkan orang tuanya untuknya. Dengan bergegas ia pun merapikan dirinya, bersama dengan itu ia pun tak lupa untuk merapikan kenangan-kenangan masa lalunya bersama Muhar.

“Iya, sebentar...” ia berjalan menuju pintu depan untuk menyambut seseorang yang tidak sama sekali ia harapkan kedatangannya malam itu. Sambil pelan-pelan membuka pintu ia berdoa dalam hatinya, semoga Muhar datang agak lebih malam. Dan doa di dalam hatinya pun ditanggapi oleh Romi dengan sebuah ciuman yang mendarat di keningnya.

Bagi sepasang kekasih yang ingin menikah, sebenarnya tidak diperbolehkan untuk bertemu beberapa hari sebelum hari pernikahannya. Entah karena apa, tapi banyak yang mempercayainya sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Hal itu membuat Gita sedikit kebingungan. “Kenapa datang?” tanyanya sembari mengusap-usap kening yang sedikit basah setelah dicium.
“Aku hanya ingin memastikan kalau calon istriku masih cantik.”
“Kalau ternyata sudah tidak?”
“Aku kecewa,” jawab Romi dengan begitu enteng.
“Suatu saat pun aku akan kehilangan kecantikanku.”
“Setidaknya bukan sekarang.”
“Terserahlah.” Dengan nada bicara seadanya, ia menutup percakapan yang baginya sangat membosankan.

Banyak hal sebenarnya yang Romi bicaran malam itu dengannya dan juga dengan orang tuanya. Dari perihal susunan acara, dekorasi panggung, hiburan, sampai hal-hal yang tidak terlalu penting seperti pemilihan pernak-pernik aksesoris yang akan diberikan kepada tamu undangan. Tapi malam itu, pikiran Gita sedang tidak di situ. Ia memikirkan hal lain. Ia memikirkan Muhar. Beberapa bertanyaan pun seketika muncul di kepalanya. Bagaimana kalau mantan kekasihnya itu tiba-tiba datang? Bagaimana kalau Romi sampai melihat Muhar?

Kemudian dengan cepat ia mengetik pesan singkat untuk mantan kekasihnya.

“Di rumah sedang ramai. Nanti kita bertemu di depan komplek saja. Kabari aku kalau kamu sudah di sana.”
“Baiklah. Aku baru mau berangkat.” Balasan dari Muhar sedikit membuatnya tenang.

Kembali lagi ia harus meladeni obrolan bersama calon suami pilihan orang tuanya itu. Ingin sekali rasanya ia menolak perjodohan ini, tapi rasanya sudah terlambat. Semuanya sudah terlanjur dipersiapkan. Di hatinya, Muhar masih lah memiliki ruang yang sangat luas. Rasa sayangnya kepada Muhar masih lah sama seperti saat mereka berpacaran. Atau mungkin kali ini perasaan itu telah jauh lebih besar dari sebelumnya. Bersama Muhar, ia selalu merasa bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih tenang. Baginya, Muhar itu kekasih idaman. Hanya saja menurut orang tuanya, Muhar bukanlah menantu yang ideal.

Harusnya kedua orang tuanya tidak menyalahkan Muhar kalau nyatanya saat ini Muhar belum memiliki kesuksesan seperti Romi. Dan Harusnya kedua orang tuanya tidak menyalahkan Muhar kalau nyatanya Muhar tidak selalu bisa menyenangkan hati mereka dengan materi. Usia Muhar masihlah terlalu dini untuk dibandingkan dengan Romi yang sudah matang. Tapi kadang orang tua memiliki pandangan yang lain tentang apa yang baik dan tidak untuk anaknya. Meskipun kadang, apa yang menurut mereka baik, belum tentu menjadi pilihan yang terbaik.

***

Muhar telah sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Ia mengetahuinya dari pesan masuk yang baru saja ia baca. Kemudian ia pun pergi ke sana, untuk menemuinya dan, meninggalkan calon suaminya—yang sedang asik berbicara dengan orang tuanya; untuk sementara.

Di perjalanan yang hanya berjarak tiga blok dari rumahnya, ia terus saja mengulang-ulang kalimat yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Ia tidak ingin menyakiti perasaan lelaki yang sedang menunggunya. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak boleh salah dalam menyampaikan kalimat yang sudah ia susun rapi dan ia persiapkan sejak jauh-jauh hari.

Di tempat itu ia melihat Muhar yang sedang duduk di atas motor. Entah motor siapa, ia tidak tahu. Sepengetahuannya, Muhar tidak atau belum memiliki motor. Tapi ia tidak peduli. Ia terus berjalan mendekati Muhar.

“Hei...” sapa Muhar kepadanya sambil tersenyum.
Ia pun tersenyum membalas senyumannya. Tercium aroma parfum dari tubuh Muhar. Ia sangat mengenali aroma itu, aroma kesukaannya. Dulu, ia selalu senang menciumi aroma itu ketika sedang memeluk tubuh Muhar. Tapi kini, aroma itu membuatnnya sedikit sedih. Karena dengan terciumnya lagi aroma itu, ia jadi sadar, bahwa nanti ia pasti akan sangat merindukannya.

“Jadi, kamu mau pergi ke mana?” tanya Muhar kepadanya.
“Aku akan pergi ke tempat yang mungkin tidak akan bisa kamu kunjungi lagi.” jawabnya pelan.
“Ke luar negeri?”
“Bukan.”
“Kalau memang benar kamu akan pergi ke luar negeri. Aku akan menabung dari sekarang untuk sesekali berkunjung.”
“Bukan. Bukan ke luar negeri.”
“Ke mana pun kamu pergi. Aku akan selalu berusaha untuk mengunjungimu. Atau kalaupun tidak bisa, aku akan selalu menunggumu. Karena apa kamu tahu? Karena aku mencintaimu.”
“Tidak boleh. Kamu tidak boleh mencintaiku lagi. Aku akan pergi dan, kamu harus melupakanku.”
“Pergi ke mana?”
“Ke pelaminan. Bersama seorang lelaki pilihan orang tuaku.” sambil menangis, ia memeluk tubuh mantan kekasihnya yang masih begitu ia cintai.
Muhar diam, tak bicara sedikit pun. Angin malam terasa lebih dingin dari sejak ia datang. Matanya berkaca-kaca. Seolah-olah ada yang memaksa air di matanya untuk keluar, tapi ia menahannya.

“Kamu harus janji buat lupain aku. Ini semua demi kebahagiaanmu.” Katanya, yang masih memeluk tubuh Muhar.
“Apa kamu juga bahagia?”
“Asal orang tuaku bahagia, aku pasti bahagia,” jawabnya.
“Kalau begitu, sampaikan pesanku pada orang tuamu.”
“Apa?”
“Aku baru saja diterima jadi pegawai negeri. Beberapa tahun lagi aku berencana untuk melamarmu dengan bermodalkan rumah sendiri. Tapi sepertinya rencanaku harus kutunda lebih lama lagi.”
“Kenapa?”
“Karena kamu sudah menikah dengan yang lain. Dan aku tidak yakin akan bisa mendapatkan penggantimu dalam beberapa tahun ini.”
Gita tak sanggup lagi untuk berkata-kata dan, ia pun tak sanggup untuk menatap wajah mantan kekasihnya. Ia masih memeluknya, menyandarkan kepalanya di dada Muhar. Ia merasakan detak jantung mantan kekasihnya yang berdegub cukup kencang; memecahkan keheningan. Tak lama dari itu, ia merasakan ada air yang menetesi kepalanya. Ia tahu, itu air mata Muhar. Tapi ia tak sanggup melihatnya dan, ia pun rasanya takkan sanggup untuk melepaskan pelukannya.

Hari itu menjadi hari yang takkan bisa ia lupakan selamanya. Hari terakhir kali ia bertemu dengan Muhar. Tiga hari sebelum hari yang paling penting dalam hidupnya.