Chrome Pointer

Minggu, 01 Juni 2014

Posted by Unknown | File under :
1.


Pagi itu, di Ruang Kelas 11 IPS 8 SMA plus PGRI, Cibinong.

Pak Eko (Guru Matematika) mulai mengabsen murid-murid yang sudah siap untuk belajar. Di tengah acara panggil-memanggil, terjadi sedikit perbincangan di antara Pak Eko—yang memang cukup akrab—dengan para muridnya.

"Hani?" tanya Pak Eko yang mulai mengabsen.

"Hadir, Pak!" jawab Hani.

"Harum?"

"Ada."

"Husnah?"

"Sakit, Pak," jawab Harum.

"Sakit apa?" tanya Pak Eko kepada Harum.

"Sakit hati kayaknya. Hahaha," sahut anak-anak yang lain, asal.

"Ya udah, mari kita mulai aja pelajarannya," kata Pak Eko.

"Saya belum diabsen, Pak?" kata Yoga.

"Oh, ada kamu ya. Maaf, bapak gak liat. Badan kamu item sih, jadi gak keliatan," jawab Pak Eko sedikit bercanda.

Semua anak-anak di kelas tertawa puas menanggapinya. Begitupun dengan Yoga. Yoga tidak pernah marah saat ada yang mengejeknya, karena ya memang dia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya.


Sejak awal masuk ke SMA plus PGRI, Cibininong. Tepatnya setahun yang lalu, Yoga memang bisa dibilang sangat akrab dengan Pak Eko dibandingkan dengan guru-guru yang lain. Bagi Yoga, sosok Pak Eko ini sudah seperti ayahnya sendiri, meskipun belum tentu Pak Eko bersedia menerimanya sebagai anak; meski hanya dalam pengandaian.

Pak Eko, selain guru Matematika, beliau juga merangkap sebagai penjaga Ruang Tata Usaha. Bukan hanya Yoga, namun Bu Risma; Ibunya Yoga juga bisa dibilang cukup akrab dengannya. Hal itu disebabkan karena Bu Risma sering datang ke sekolah dan menemuinya setiap kali Yoga terlambat membayar uang SPP.

"Item juga kan manis, Pak," kata Yoga dengan nada bicara yang cukup dibuat-buat seolah dia yakin bahwa dirinya memang tidak sejelek itu.
   
Semua anak-anak di kelas kembali tertawa puas dibuatnya.

"Iya, lu emang manis. Tapi, tetep aja si Harum gak mau sama lu. Hahaha," kata Hani kembali mematahkan pernyataan Yoga.

Semua anak-anak di kelas pun lagi lagi kembali tertawa dibuatnya, kecuali Harum. Harum merasa kasihan kepada Yoga yang selalu saja menjadi bahan ejekan teman-teman sekelasnya. Jauh di dalam hatinya, Harum masih menyimpan sedikit rasa bersalah kepada Yoga karena dulu dia sempat menolak cinta Yoga dengan sangat mentah.


Kejadian itu terjadi beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada saat Harum mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya.

Saat itu semua teman-teman sekelas diundangnya, termasuk Yoga. Selama pesta berlangsung, Yoga tidak pernah melepaskan sedikit pun pandangannya dari Harum, yang malam itu terlihat sangat cantik dengan gaun pesta warna merah yang begitu cocok dipadu-padankan dengan kulitnya yang berwarna kuning langsat.

"Mingkem, Yog! Serius amat ngeliatinnya, sampe netes-netes tuh iler." Celetuk Galih, membuyarkan lamunan Yoga.

"Rese lu!" timpal Yoga.

"Kalo suka mah bilang. Masa cuma berani ngeliatin doang? Dari jauh lagi ngeliatinnya. Cemen!"

"Gua takut, Lih. Takut ditolak."

"Yaelah, mana tau kalo belom dicoba?"

"Iya, sih. Terus gua harus gimana?" Yoga mulai berantusias untuk membahas obrolan tersebut bersama sahabatnya.

"Gini, mending abis acara ini beres, dan semua tamu udah pada pulang, lu samperin tuh si Harum, terus lu bilang kalo lu suka sama dia," papar Galih. "Eh, jangan lupa, abis itu lu tanya, mau gak dia jadi pacar lu? Jangan sampe gak ditanyain," tambahnya.


Galih dan Yoga adalah dua sejoli yang sudah dipertemukan Tuhan sejak OSPEK. Dari pertama kali masuk sampai sekarang mereka selalu saja menjadi teman sekelas, bahkan sebangku.

Waktu itu, saat kenaikan anak kelas satu, Galih sempat memutuskan untuk masuk ke kelas IPA. Namun karena diiming-imingi santainya belajar di kelas IPS, akhirnya Galih pun mengikuti Yoga masuk ke kelas IPS. Dan lagi-lagi harus satu kelas dengan Yoga. Dan lagi-lagi harus satu bangku dengan Yoga. Mungkin inilah yang disebut jodoh. Jodoh yang tak pernah diharapkan oleh keduanya.

"Terus kalo dia nolak gua, gimana?" tanya Yoga lagi, semakin penasaran.

"Ya itu mah derita lu. Hahaha."

"Ah, rese lu! Males ah."

"Yee, kalo gak sekarang, mau kapan? Inget, Yog. Si Harum itu cantik. Kalo pergerakan lu lambat, dia keburu diambil orang."

"Iya juga ya. Ok deh, gua coba."

"Nah, gitu dong. Semangat ya!"


Harum tak pernah bermaksud menolak Yoga seperti itu. Maksudnya, bukan karena Yoga itu jelek, makanya ditolak. Tapi lebih karena Yoga itu terlalu menyenangkan untuk dijadikannya teman.

"Kalo pacaran, takutnya jadi kagok. Jadi gak bisa bercanda lepas karena takut menyakiti. Jadi gak bisa cuek karena takut ada yang marah. Dan takut gak bisa jadi pasangan yang seru karena berantem melulu," bantah Harum dalam hati sesaat sebelum pelajaran hari itu dimulai.

Apa pun alasannya, tetap saja, intinya malam itu Yoga ditolak.


Sepanjang hari, Kelas selalu ramai. Semua itu memang tidak terlepas dari kehadiran Yoga di Kelas ini. Harum menyadarinya. Tapi Harum tidak menyadari kalau keceriaan yang Yoga tunjukan itu semata-mata dia dedikasikan untuk menarik perhatiannya.

"Harum, mau aku bahagian terus gak?" tanya Yoga sambil teriak, dalam hati. Seolah-olah dia sedang bertanya kepada dirinya sendiri. "Mau!" jawab Harum—dalam lamunan yang disutradarai oleh Yoga—pagi itu.

"Yoga! Mau gak?" tanya Pak Eko sekali lagi. Ternyata daritadi beliau telah memanggil-manggil Yoga, tapi Yoga terlalu sibuk dalam lamunannya sampai-sampai tak mendengar seruan itu.

"Mau apa, Pak?" kata Yoga yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, "Mau sama Harum? Ya maulah, Pak!"

"Hahaha," seisi kelas pun kembali tertawa mendengarnya.

"Bukan! Ini kamu mau diabsen gak? Bengong mulu." Kata Pak Eko, yang kesal karena omongannya tidak diperhatikan.

"Kalo lu mau sama Harum, itu mah masalah kecil, Yog," sambar Hani. "Masalah besarnya, si Harum mau gak sama lu?" dan seisi kelas pun lagi-lagi kembali dibuat gaduh dengan suara tawa cekikikan.
   
Semuanya tertawa, kecuali Harum. Dia diam, tak tersenyum sedikit pun.


∞§∞


2.


Di suatu sore yang seru, di tengah-tengah keramaian anak-anak ingusan yang sedang sibuk—dengan permainan anak-anaknya—di halaman rumah dan tentunya juga dengan ingusnya di halaman wajah, terdengar ada percakapan yang tidak kalah seru dengan semuanya itu antara Yoga dan seseorang di dalam rumah.

"Mau ke mana?" tanya seseorang kepada Yoga.

"Rahasia," jawabnya.

"Dih?" kata seseorang yang sedang diajak bicara itu kebingungan. Dan ternyata seseorang itu tiada lain ialah Bu Risma.


Mereka berdua kalau di rumah memang tidak terlalu akrab. Jarang sekali mereka berbincang-bincang panjang-lebar layaknya seorang Ibu dan Anak. Sikap Yoga yang terlalu cuek—terhadap apa pun—sudah sangat dimengerti oleh Bu Risma. Namun, bila mereka sedang berada di luar rumah dan di tempat yang terpisah, Yoga selalu membangga-banggakan Ibunya. Dan begitupun sebaliknya.

Yoga bukanlah anak nakal. Bukan juga anak yang tidak menghormati orang tuanya. Hanya saja, Yoga itu anak yang sangat cuek. Kalau tidak terlalu perlu, dia akan diam, tidak berbicara sedikit pun. Terkecuali kalau dia sedang bersama teman-temannya. Dia bisa berubah 180 derajat, dari yang tadinya sering diam, menjadi bawel dan cerewet. Semua itu terjadi karena saat bersama dengan teman-temannya dia memang tidak boleh diam. Sebab kalau diam, itu artinya minta di-bully. Begitulah adab nongkrong anak zaman sekarang. Yang lemah akan selalu ditindas oleh yang bawel.

"Bu, minta ongkos atuh?" kata Yoga kepada Ibunya.

"Mau ke mana?" diulanginya pertanyaan itu kepada Yoga.

"Ke situ, jauh."

"Kalo gak dijawab, ya gak dapet ongkos," ancam Ibunya.

"Mau ke rumah temen, mau ikut?"

"Boleh?"

"Ngapain?"

"Lah, tadi diajak?"

"Gak jadi."

"Kenapa?"

"Gak punya duit buat ngongkosinnya."

"Hehehe, nih..." Sambil menyerahkan beberapa uang asli kepada Yoga, Bu Risma kembali mengulangi pertanyaannya. "Mau ke mana?"

"Mau tidur."

"Katanya mau ke rumah temen?"

"Iya, tidurnya di rumah temen. Aku pergi dulu ya, assalamualaikum!" setelah itu Yoga pergi tanpa mengajak Ibunya.


Langit sore di Kota Hujan perlahan-lahan mulai menggelap, mengundang sang bulan untuk segera datang.

Yoga masih di perjalanan.

Mau ke mana sebenarnya si Yoga ini? Oh iya, ke rumah temannya.


Sebelumnya perlu kuceritakan sedikit tentang Yoga. Usianya kini masih sangat belia. Ya, kurang lebih masih sama lah dengan usiamu kalau kamu masih duduk di bangku SMA kelas 2.

17 Tahun yang lalu, Yoga dilahirkan ke Bumi dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai Bayi. Beranjak dewasa, Yoga tumbuh menjadi anak yang sangat ceria. Tak tergambarkan ada duka sedikit pun di wajahnya setiap kali dia bergaya. Padahal, di balik semuanya itu, ada kesedihan yang tak semua orang ketahui dari dalam dirinya.

Yoga telah menjadi anak yatim sejak dia dilahirkan. Ayahnya meninggal dunia sebelum sempat dia melihatnya. Kasihan, kan? Iya. Tapi yang lebih kasihan lagi, sejak dulu Yoga belum pernah sekali pun memiliki kekasih hati (pacar). Masalahnya, bukan karena Yoga itu seorang yang pemilih, tapi lebih karena tak ada satu pun wanita yang ingin memilihnya.

Karena bentuk fisik dan cara bertingkahnya yang sama-sama amburadul (dalam arti yang sebenarnya), Yoga sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. Entah itu di sekolah, entah itu di rumah, dan entah itu di mana pun dia berada. Benar-benar nasib yang nestapa.

Tapi memang Yoga tak pernah pusing mempermasalahkannya. Sebanyak apa pun ejekan yang diterimanya, Yoga tetap menjalani hari-harinya dengan santai dan bersahaja.

Ada sebuah pernyataan sikap yang sangat menarik yang sempat terlontar—mungkin secara tidak sengaja—dari mulut Yoga.

Izinkan aku untuk menceritakannya di sini.

Saat itu, setelah Yoga selesai diejek habis-habisan oleh teman sekelasnya karena tampangnya yang jelek (seperti ejekan-ejekan sebelumnya), salah seorang temannya yang lain, yaitu Anton, datang dan bertanya seperti ini kepadanya, “lu gak marah? Kalo gua jadi lu, udah gua tonjok tuh bocah.”

Yoga menyikapinya dengan tenang, lalu dengan sikap yang sangat elegan, Yoga menjawab, “Buat apa marah? Kan mereka ngeledekin tampang gua yang jelek. Bukan ngeledekin kelakuan gua.”

“Maksudnya?” tanya Anton kebingungan.

“Gini, Ton...” Kata Yoga sambil membenarkan posisi duduknya. “Kalo mereka ngeledekin kelakuan gua, pasti gua marah, karena gua ngerasa gak pernah bikin masalah apa-apa sama mereka. Tapi...” Yoga menghentikan perkataannya, membuat dirinya benar-benar terlihat (sok) keren saat itu.

“Tapi apa?” Anton mulai geregetan dengan Yoga.

“Tapi mereka kan gak ngelakuin itu,” kata Yoga dengan nada bicara yang agak diberat-beratkan. “Mereka kan ngeledekin muka gua yang jelek. Dan perlu lu inget, muka gua ini bukan gua yang bikin, tapi Allah,” tambahnya.

“Terus?”

“Berarti yang mereka ledekin itu Allah, yang udah bikin muka sejelek gua,” lanjut Yoga. “Kalo pun harus ada yang marah, itu bukan gua dong, tapi Allah. Kan Allah yang diledekin, bukan gua,” lanjutnya lagi.

“Ah, ngomong apa si lu? Bilang aja takut!” kata Anton sedikit teriak. “Apa perlu gua yang tonjokin tuh bocah buat lu?”

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Kan udah gua bilang, yang harusnya marah itu Allah. Jadi biar Allah aja yang urusin semuanya.”

“Ya udahlah, terserah lu!”

Kurang lebih seperti itulah bentuk percakapannya.

Menurutmu, Yoga itu sok keren, atau penakut? Tapi apa pun menurutmu, Yoga adalah Yoga, begitu adanya. Seorang remaja belia yang santai dan bersahaja.


Ternyata cukup lama juga ya kubercerita tentang Yoga, sampai tahu-tahu si Yoga kini sudah sampai di rumah Galih. Mau apa dia ke rumah Galih? Oh iya, mau tidur, tidur dengan santai dan bersahaja karena ada banyak AC di rumah Galih, tidak seperti di rumah Yoga yang jangankan AC, ventilasi pun jarang.


∞§∞


3.


Malam ini nampak lebih ramai dari malam-malam biasanya, mungkin karena malam ini adalah malam minggu. Malamnya orang-orang berada di luar rumah untuk menghabiskan waktu.

Waktu menunjukan pukul 7 lewat 8, dan seorang pemuda berparas rupawan sedang meneguk secangkir kopi di sebuah warung di perempatan jalan, di samping tukang ojek yang sedang menunggu pelanggan. Namun, bukan pemuda itu yang akan kuceritakan.

Di sana, di seberang jalan sana, ada dua orang remaja yang sedang berdiri menunggu angkutan umum disaksikan lampu-lampu lalulintas yang sudah mulai lelah untuk menyala.

Kedua remaja itu ialah Yoga dan Galih.

“Lu yakin mau ke rumah gua, Lih?” tanya Yoga kepada Galih yang sedang mengamati jalan, mengamati kendaraan.

“Emang ngapa?” jawab Galih sambil membalikan badannya ke arah Yoga.

“Ya gak apa-apa sih.”

“Yee, gak jelas lu.”

Bukan ‘Gak apa-apa’ sebenarnya. Ada sedikit rasa keraguan dalam hati Yoga untuk mengajak sahabatnya ini bertandang ke rumahnya.

Dulu, Bu Risma—Ibunya Yoga—pernah berpesan kepada anaknya, “Yog, kalo ada orang yang baik ke kamu, kamu harus bales dengan baik. Tapi, kalo ada orang yang jahat ke kamu, jangan kamu bales dengan jahat. Karena, itu bakal bikin kamu jadi orang jahat juga.”

Hal itulah yang membuat Yoga ragu untuk mengajak Galih bertandang ke rumahnya.
Di rumah Galih, Yoga selalu disambut dengan baik. Disuguhi makanan, diizinkan main PS, dan bahkan dibiarkan menikmati AC sampai kadang sahabatnya itu protes, “Lu jelemaan siluman beruang kutub ya? Dingin banget ini. Kecilin lah AC-nya!”

Semua yang Yoga dapatkan di rumah Galih, tidak akan pernah bisa Galih dapatkan di rumah Yoga.

AC? Tidak ada.

PS? Tidak ada juga.

Makanan? Ada sih, tapi hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri, tidak cukup untuk dibagi.

Semakin dipikirkan,semakin membingungkan. Di satu sisi, Yoga ingin menahan Galih untuk bertandang ke rumahnya. Di sisi lain, Galih sangat bersemangat.

“Naik angkot nomer berapa sih, Yog? Masa dari tadi gak dapet-dapet angkotnya?” tanya Galih yang mulai bosan menunggu.

“64 atau 38.” Jawab Yoga, singkat.

Rumah Yoga ada di daerah Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Kira-kira 30 menitan kalau naik angkot dari Cibinong ke rumahnya. Itupun kalau supir angkotnya tidak mutar dulu lewat Zimbabwe.

Kalau rumah Galih, tidak jauh dari sekolah. Hanya terpisahkan oleh lapangan sepak bola. Kadang setiap pulang sekolah teman-teman Galih pun sering berkunjung ke rumahnya. Sekadar untuk beristirahat dan tidur-tiduran. Setelah itu mereka kembali lagi ke sekolah untuk mengikuti les tambahan sampai sore. Luar biasa sekali bukan pengorbanan anak sekolah zaman sekarang? Dijejali pendidikan dari pagi hingga petang. Jadi pintar belum tentu, jadi stres sudah pasti.

“Itu banyak angkot 64, kenapa gak diberentiin?” kali ini Galih bertanya sambil mengerutkan keningnya..

“Penuh. Nyari yang sepi aja.”

“Yee, kalo mau sepi mah naik taksi, Yog, jangan naik angkot.”

“Yee, kalo punya duit juga gua gak bakalan naik angkot, Lih. Naik haji.”

“Yee...” kali ini Galih pun benar-benar kesal. “Tuh ada angkot, yuk naik, keburu malem. Gua takut kalo udah malem.”

“Takut apa?”

“Takut diculik.”

“Yee, pede amat!”

Dengan lemas, Yoga melambaikankan tangannya memberhentikan angkutan umum yang akan membawanya pulang.

Angkot yang mereka naiki itu ternyata tidak sesepi yang terlihat dari luar. Di dalamnya cukup ramai. Dan ada beberapa orang di dalam angkot itu yang membuat mereka berdua terkejut.


∞§∞


4.


Beberapa jam sebelum Yoga dan Galih menaiki angkutan umum.

Di rumah Galih, seperti biasa, Yoga menghabiskan banyak waktunya untuk bermain PS, menyantap cemilan, dan menaik-turunkan suhu AC. Sudah seperti di rumah sendiri. Sementara itu, Galih hanya berbaring di atas tempat tidurnya sambil membaca-baca majalah otomotif yang baru saja dibelinya.

Galih memang sangat menyukai dunia otomotif. Menjadi pembapal MotoGP ialah cita-citanya sejak kecil. Namun sayang, sampai saat ini, jangankan menjadi pembalap, mengendarai sepeda motor saja belum pernah.

Orang tua Galih cukup posesif untuk hal semacam itu. Mereka takut anaknya mengalami kecelakaan atau hal-hal buruk lainnya. Makanya, sampai saat ini Galih belum diizinkan untuk mengendarai sepeda motor sendiri.

“Kamu masih kecil, lagian juga belom punya SIM. Gak usah gaya-gayaan mau naek motor!” kata Ibunya Galih waktu itu, saat Galih merengek minta dibelikan motor untuk sekolah.

“Tapi temen-temen galih udah banyak yang naik motor, Mah, kalo ke sekolah.”

“Mungkin orang tua temen-temen kamu itu gak sayang ke anaknya sesayang Mamah ke kamu,” diusap-usapnya kepala Galih, seperti anak kecil. “Mamah janji, kalo kamu udah lulus SMA nanti, dan kamu udah punya SIM, Mamah akan bilang ke Papah buat beliin kamu motor.”

“Serius, Mah?” tanya Galih sambil menatap penuh harap kepada Ibunya.

“Iya, kan Mamah udah janji.”

“Asik. Beliin yang bagus ya, Mah. Nih, kayak yang di majalah ini nih...” Disodorkannya gambar Valentino Rossi yang sedang menunggangi motor.

“Hehehe, gak kegedean tuh?”

“Ya, kalo belinya sekarang sih masih kegedean. Tapi kalo belinya nanti, kan aku juga udah nambah gede. Hehehe.”

“Bisa aja...”


Berbeda dengan Galih, Yoga tidak terlalu tertarik dengan dunia otomotif. Baginya, daripada harus kebut-kebutan naik motor, lebih baik naik angkot. Tidak ribet, karena sudah ada supirnya.

Sudah satu jam berlalu sejak pertama kali Yoga datang ke rumah Galih, dan Yoga masih saja asik bermain PS. Secara tidak langsung Yoga telah membohongi Ibunya. Dia bilang, katanya mau tidur, tapi malah main PS. Dasar anak muda zaman sekarang, omongannya susah dipercaya.

Yoga memang sangat senang bermain PS. Terlebih kalau sudah bermain bola, kadang bisa membuatnya sampai lupa waktu, lupa pulang, dan lupa kalau dia itu jelek.

“GOLLL!!!” teriak Yoga kegirangan, sambil memukul-mukul lantai dengan tangannya.

“Husss, berisik!” sambar Galih.

“Iya, iya, maaf. Hehehe. Lih?” kata Yoga, memanggil temannya.

“Apa?”

“Bosen nih gua, menang mulu.”

“Gua juga bosen, ngeliat lu mulu.”

“Yee...”

Yoga memang cukup hebat dalam bermain PS, itu karena sejak kecil dia memang sudah sering bermain di rental milik tetangganya. Berbeda dengan Galih, dia tidak terlalu hebat. Atau kalau boleh dibilang, Galih tidak ada bakat bermain PS. Mencet tombol stiknya saja masih kaku. Masih seperti anak bayi memegang sendok; mudah panik.

“Ke rumah lu yuk?” pinta Galih.

“Ngapain?” Yoga malah balik bertanya.

“Ya main aja, masa mau ngerampok?”

“Mau ngerampok apaan sih lagian? Di rumah gua mah gak ada apa-apa, paling ada Ibu gua doang.”

“Ya udah ngerampok Ibu lu aja.”

“Ih, jangan!”

“Kenapa?”

“Nanti di rumah gak ada yang masak.”

“Hahaha.”



Seperti tidak ada dosa, mereka berdua pun terbahak-bahak mentertawakan Bu Risma. Tidak anaknya, tidak teman anaknya, keduanya sama saja. Sama-sama anak muda zaman sekarang yang bercandaannya kurang elegan. 


∞§∞


Cerita ini akan bersambung sewaktu-waktu...